Assalammualaikum.Wr.Wb
Dear apa kabar Sahabat Keluarga Nawra
Bulan Februari ini Ibu Fatmawati Soekarno berusia 96 tahun. Keluarga Nawra bersama komunitas Blogger Bengkulu, membuat twibbon untuk mengenang kelahiran Ibu yang berasal dari kota Bengkulu ini. Ibu Fatmawati bukan saja sebagai istri dari Bung Karno, tetapi beliau juga seorang penjahit bendera Merah Putih dan Alhamdulillah juga sudah mendapatkan gelar sebagai pahlawan Nasional.
Di Bengkulu, rumah kediaman Bu Fatmawati juga masih terjaga dan terpelihara dengan baik. Beberapa tempat umum juga sudah diberi nama dengan nama Fatmawati. Seperti bandara Fatmawati Bengkulu.
Nah, saat ini Keluarga Nawra juga ikutan #NuliSerempak bersama Blogger Bengkulu mengenai Ibu Fatmawati ini dengan tujuan agar makin banyak tersebar informasi mengenai Ibu Fatmawati, sejarah dan kisahnya akan banyak yang ingin mengetahuinya. Apalagi untuk generasi masa depan yang akan mencari akses informasi lewat digital. Sarana menulis di blog sangatlah efektif untuk memberikan informasi tersebut.
Tulisan ini sebagai besar diambil oleh Keluarga Nawra, dari buku Fatmawati, Catatan Kecil Bersama Bung Karno. Yang diterbitkan oleh Yayasan Bung Karno. Kalian juga bisa mencari informasi lebih untuk mendapatkan buku ini dengan menghubungi
Yayasan Bung Karno – Media Pressindo
Jalan Cempaka Putih No 8 Deresan CT X
Gejayan, Yogjakarta 55283
Telp 0274 556043 / 555939
Email : medpressgroup@yahoo.com
Website : www.media-pressindo.com
Jadi tulisan di blog ini mungkin hanya akan memindahkan isi buku ke dalam postingan singkat blog Keluarga Nawra. Agar cerita sejarah tersebut memang murni dan tidak ada yang ditutup-tutupi.
Kelahiran Ibu Fatmawati
Pada tanggal 5 Februari 2019, hari senin. Jam 12 siang, aku dilahirkan ke dunia. Sebagai anak pertama dalam keluarga suami-istri bapak Hasan Din dan Siti Chadijah di kota Bengkulu, Bengkulu Selatan.
Di dalam buku ini, ibu Fatmawati menuliskan kota Bengkulu, merupakan Sumatera Selatan. Hal ini adalah benar, sebab dulu Bengkulu merupakan salah satu wilayah yang menjadi bagian dari provinsi Sumatera Selatan.
Ayah mengambil Siti Chadijah sebagai istri setahun sebelumnya,dengan restu dan pilihan keluarganya, sesuai dengan adat yang berlaku pada waktu itu.
Ayahku adalah seorang yang taat beragama. Berterimaaksih apabila mendapat rejeki atau syukur dalam hati jika mendapatkan anugerah apa pun.
Jika akan memulai sesuatu pekerjaan selalu memohon petunjuk-Nya agar dijauhkan dari godaan percobaan. Ayah pernah bercerita padaku, pada malam pengantin, ayah berdoa dengan sebulat hati kepada Tuhan
“Ya Tuhan, hamba-Mu mengucapkan syukur kepada-Mu karena Tuhan telah memberikan teman hidupku. Ya, Tuhan semoga dalam perkawinan kami dianugerahi anak yang sholeh dan berbakti kepada bangsa dan Negara serta agama.Jika tidak ada gunanya kepada, bangsa, dan tanah air serta agama, hamba rela anakku laki-laki atau perempuan untuk tidak berumur panjang.
Pertama nama FATMAWATI yang artinya bunga Teratai (lotus) sedangkan nama kedua adalah SITI JUBAIDAH yang diambil dari nama salah satu istri nabi.
Nama Fatmawati dan Siti Jubaidah ditulis di atas dua potong kertas kecil setelah itu digulung kemudian diundi. Ternyata pilihan jatuh pada kertas yang bertuliskan nama Fatmawati. Itulah nama yang dipakai sebagai pemberian dari kedua orangtuaku.
|
Buku ini sudah dicetak dengan beberapa desain kover, ini adalah buku dengan desain terbaru. |
Panggilan aku di masa kecil ialah, Ma, jadi bukan Fat seperti di kemudian hari.
Masa Sekolah Ibu Fatmawati
Saat berusia 6 tahun, aku masuk sekolah Gedang (Sekolah Rakyat) . Anak-anak waktu itu kalo hendak masuk sekolah disuruh memegang telinga, disuruh memegang telinga kiri dengan tangan kanan. Jika belum dapat belum diterima. Jika dapat boleh masuk dan diterima sebagai murid Gedang. Aku dapat dan aku diterima
Tapi tahun 1930, aku pindah sekolah menjadi murid HIS (Sekolah Berbahasa Belanda) di jalan Peramuan. Untuk mendapatkan pelajaran agama, di samping mendapatkan didikan dari kedua orang tua,aku juga mengikuti sekolah standar Muhammadiyah, di sore hari yang terletak di jalan Kebun Ros. Seperti anak-anak yang lainnya.
Setiap hari aku mendapatkan uang saku, sebesar dua setengah sen. Dengan uang itu aku bisa membeli makanan kesukaan aku seperti, nasi uduk, pecel, peyek, cendol, es gunung dan lainnya. Yang berjualan pecel dan peyek adalah ibu-ibu yang berasal dari pulau Jawa.
Jika ada saat yang terluang, ayah suka mengajakku berkeliling kota goncengan sepeda. Duduklah aku di sepan sambil memegang stang (kemudi sepeda) sedangkan ayah mengayuh sepeda dengan tenang dan memberi tahu hal-hal yang asing bagiku. Seperti gedung –gedung yang megah, kantor-kantor penting, pelabuhan, benteng, atau markas Belanda dan Tapak Paderi. Tapak Paderi adalah bukit dan di puncak ada sebuah tugu peninggalan Inggris.
Dari puncaknya kita dapat melihat di depan mata pemandangan lautan luas dan di belakangnya Benteng Fort Malborough,bekas benteng Sir Stamford Raffles.
|
Tmapak belakang buku Fatmawati, yang berisikan pesan dari ibu Fatmawati dan anaknya Guruh |
Krisis Rumah Tangga dan Pindah Ke Palembang
Ayah ingin juga mencari pekerjaan baru, sejak aktif di organisasi Muhammadiyah. Ayah berhenti bekerja menjadi pegawai kantor Belanda. Otomatis pendapatan keluarga kami juga turun naik. Ayah pergi lagi ke Palembang.Untuk sementara kami mmenumpang tinggal di rumah kakak ayah. Rumahnya bertingkat dan terbuat dari tanah dan kayu.
Diibukota Sriwijaya ini aku melanjutkan sekolahku masuk HIS Muhammadiyah di Bukit Kecil duduk di kelas 4. Setahun kemudian aku sudah duduk di bangku kelas 5. Masa yang menggembirakan waktu itu. Aku disegani oleh teman-teman, mungkin karena aku putri Pimpinan Perserikatan Muhammadiyah.
Pindah Ke Kota Curup
Kota Palembang yang panas dan ramai itu, akhirnya aku tinggalkan. Kami pindah ke Kota Curup. Aku tidak lagi melanjutkan sekolah. Penanggalan sudah menunjuk tahun 1938. Perang dunia kedua satu tahun lagi akan meledak.
Aku meningkat jadi remaja putri ketika berusia 15 tahun.
|
Tampak depan rumah Bung Karno |
Awal Berkenalan dengan Bung Karno
Suatu hari ayah pulang dari pasar dan bercerita penuh semangat bahwa pimpinan pergerakan bangsa telah pindah ke Bengkulu dari pengasingannya di Flores. Sebagai pimpinan perserikatan ayah berkeinginan bersilaturahim dengan tokoh pergerakan tersebut.
|
Tampak depan rumah pengasingan Bung Karno yang sekarang |
“Ir.Soekarno adalah keturunan Jawa-Bali, sedangkan istrinya bernama Inggit Ganarsih putri Sunda , “ demikian kata ayah.
Sebelum keberangkatan kami sekeluarga, ayah menulis surat terlebih dahulu ke Bengkulu yang menyatakan bahwa ayah ingin bertemu dengan Bung Karno.
Belum lama aku menghirup udara segar kota Curup, kira-kira 6 bulan sudah harus kutinggalkan.
Berangkat Ke Bengkulu, Bertemu Bung Karno
Pada hari yang telah ditetapkan, kami berangkat menuju kota Bengkulu yang kutinggalkan tiga tahun sebelumnya. Sesampai di Bengkulu, kami menginap semalam di rumah nenek. Keesokan harinya baru kami menuju kediaman Bung Karno.
Masih kuingat aku mengenakan baju kurung warna merah hati dan tutup kepala voile kuning diborduur. Pada kunjungan itu rombongan kami terdiri dari ayah,ibu, aku dan adik ayah .Kami menuju ke kediaman Bung Karno dengan naik delman.
Tiba di Rumah Bung Karno
Di depan sebuah rumah yang kami tuju, keliatan dua orang, yaitu lelaki dan perempuan. Pertama yang kami ucapkan adalah “Assalammualaikum “ yang dijawab
“wassalammualaikum” lelaki itu tertawa lebar, matanya berseri-seri dan badannya tegap. Perempuan yang berdiri di sampingnya Inggit, istri beliau nampak cantik di kala usia muda dan keliatan lebih berumur dari laki-laki yang tegap itu.
Kami dipersilakan masuk terus ke beranda belakang di mana ruangan ini terbagi dua yaitu ruangan untuk makan dan ruangan untuk tamu. Di sisi sudut kulihat ada sebuah radio.
Ayah dan Ibu duduk di ruang tamu sedangkan aku duduk di ruang makan bersama Ratna.
|
Ruang tamu di rumah Bung Karno |
Ratna memperlihatkan album yang berisi foto-foto waktu mereka berada di Bandung dan foto-foto Bung Karno dalam pembuangan yang pertama kali di Flores.
Ratna Juami ternyata anak angkat Bung Karno. Anak keponakan dari istrinya, Inggit.
Di Tawari Biskuit Oleh Bung Karno
Sesekali Bung Karno menawarkan roti biskuit kepada kami. Kuambil dan tidak lupa mengucapkan terima kasih. Saat itu Bung Karno suka tertawa, bukan senyum. Beliau jarang tersenyum.
|
Ruang makan yang menghadap ke ruang belakang dan terletak di beranda belakang |
Di dalam pertemuan itu aku ditanya dimana aku sekolah. Kemudian aku jelaskan bahwa aku tidak sekolah lagi hanya giat dalam Nasyotul’Aisyah di curup. Kugambarkan kehidupanku di Curup serta kegemaranku terhadap kebun milik famili, memetik buah-buahan.
Dijamin Sekolah Oleh Bung Karno
Kemudian aku ditanya apakah aku bersedia masuk sekolah RK Vakscholl bersama dengan Ratna Juami, anak angkatnya. Di sini aku terbentur syarat-syarat untuk masuk sebab aku hanya tamat HIS kelas 5.
|
Berfoto bersama di depan rumah Bung Karno, Ibu Fatmawati no 7, no 8 Ratna |
Bung Karno menjamin akan mengurus hal itu dan mulai hari itu aku tinggal di rumah Bung Karno. Ayah dan ibu kembali ke Curup untuk mengambil pakaianku yang tertinggal. Mulai Agustus itu aku tinggal bersama-sama keluarga Bung Karno
Cerita Bersambung….
Nah, sahabat Keluarga Nawra itulah cerita yang bisa dibagikan berdasarkan buku Fatmawati, Catatan Kecil Bersama Bung Karno. Bagaimana awalnya Ibu Fatmawati bertemu denga Bung Karno.
Semoga ulasan ini bisa menambah informasi dan wawasan kamu tentang Ibu Fatmawati yah. Semoga postingan ini juga bermanfaat bagi kalian semua. Salam dari Keluarga Nawra yang saat ini tinggal dan hidup di bumi Fatmawati dilahirkan.
Dari rumah kami menuju ke rumah Bung Karno atau rumah kediaman Ibu Fatmawati tidak terlalu jauh. Letak rumah mereka pun sangat dekat. Jadi jika ingin berwisata sejarah ke rumah keduanya, mudah sekali. Jalan kaki saja bisa !
Yuk, ayoo ajak keluarga berwisata ke Bengkulu